Sabtu, 22 November 2014

CARA MEMBUAT DAPHNIA MAGNA , ROTIFERA , INFUSORIA, GREEN WATER DAN MICROWORM

Sekilas Tentang Daphnia Magna.

Dapnia magna adalah dapnia asal amerika utara yg berukuran lebih besar 10x lipat dengan dapnia lokal atau sering kita sebut kutu air raksasa.karna dapnia ini mempunyai ukuran besar dan lebih mudah cepat di budidayakan untuk keperluan pakan dalam perikanan tak jarang peternak dan penghobis ikan membudidayakan dapnia magna ini utuk keperluan pakan ikan mereka.

“cara membuat dapnia magna” :

siapkan air baru yang diendapkan minimal 2 hari.

bila kultur budidaya dapnia magna ini di aquarium (in door) gunakan aerator.

aerator tidak diperlukan jika kultur dapnia dilakukan terkena sinar matahari langsung (out door).

pakan dapnia ini tidak sulit bisa memakai dedak,pelet yg dilembutkan atau kotoran ternak.

tapi menurut hemat saya,pakan dapnia yg paling bagus cepat berkembang dan tidak terkejar kebutuhan ikan ternakan adalah green water,infusoria atau dengan rotifera.(cara pembuatan rotifera ,green water dan infusoria yg terakir ya

masukan starter dapnia ke air yg telah di siapkan tadi.

masukan green water,infusoria atau rotifera kira2 sekitar 5-10% dari air budidaya tersebut.tiap 3 atau 5 hari sekali.setelah hari ke 4 daphnia magna akan 100x lipat banyaknya.anda bisa memanennya dengan menyisakan kira2 setengah dari jumlah dapnia magna tersebut untuk starter selanjutnya.dan dapat dipanen tiap 3 hari sekali.untuk pemanenan rutin skala besar bisa membuat beberapa tempat kultur menurut kebutuhan.

‘cara membuat infusoria’ :

siapkan baskom atau ember menurut kebutuhan.

siapkan air yg sudah diendapkan 2 hari dan dicampur dengan air aquarium yg sudah dipakai ikan yg sehat.

rebus sawi atau kobis atau kol sampai rusak meleleh lembut hancur.

diamkan adonan tersebut hingga dingin.setelah dingin peras air dan rebusan tersebut dengan kain.

kemudian masukan air perasan tersebut di air yg sudah disiapkan tadi.

tutup wadah baskom dengan kain agar tidak dihinggapi nyamuk.

setelah 4-5 hari infusoria sudah dapat digunakan.

‘cara membuat rotifera’ ;

siapkan baskom atau ember menurut kebutuhan.

siapkan air yg sudah diendapkan 2 hari dan dicampur dengan air aquarium yg sudah dipakai ikan yg sehat.

ambil segenggam cacing sutra atau cacing darah.

cincang atau matikan atau jemur cacing sutra atau cacing darah tersebut.

kemudian masukan kedalam tempat baskom yang telah di siapkan tadi.

tutup baskom dengan kain setelah 4-5 hari rotifera dapat digunakan.

‘cara membuat green water’ ;

ambil baskom atau ember yang di isi air dan jemur dibawah terik matahari.

ambil 1sendok teh pelet ikan lembut atau dedak. kocok di botol air mineral sampai berkabut masukan ke baskom yang di jemur tadi.setelah 6 hari jadilah green water. atau untuk lebih cepat anda bisa memberikan sedikit starter green water yg bisa anda peroleh di kolam2 peternak ikan atau dengan penambahan setengah sendok teh spirulina.

rotifera dan infusoria juga dapat digunakan untuk pakan larva atau burayak yang masih kecil.

Jumat, 21 November 2014

Cara Membuat Benih Rajungan

                                                                             
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia. Dengan garis pantai yang panjang ini, Indonesia memiliki potensi kepiting yang sangat besar. dari 234 jenis kepiting yang hidup di perairan Indo-Pasifik Barat, 124 jenis di antaranya dapat dijumpai di perairan Indonesia. Namun dari antara semua jenis kepiting ini, hanya beberapa jenis saja yang telah dikenal karena kelezatannya sebagai makanan.
Rajungan merupakan komoditas perikanan yang saat ini banyak diminati, memiliki nilai ekonomis tinggi dan mulai dikembangkan pembudidayaannya. Selain karena rasanya yang lezat, juga karena nilai jual yang terkenal cukup mahal. Nilai gizi dari rajungan juga cukup tinggi, dengan protein sekitar 65 persen, mineral 7,5 persen dan lemak tak sampai 1 persen. Rajungan telah diekspor ke berbagai negara dalam bentuk rajungan segar maupun olahan, di mana rajungan segar banyak diminta oleh negara Singapura dan dalam bentuk beku ke negara Jepang dan Amerika. Sampai saat ini seluruh kebutuhan ekspor rajungan masih mengandalkan dari hasil tangkapan di laut, sehingga dikhawatirkan akan mempengaruhi populasi di alam.
permintaan negara Amerika Serikat lewat PT. Philips Seafood Indonesia yang mencapai 60 ribu ton per tahun. Untuk negara-negara di Asia seperti Singapura, Hong Kong dan Jepang, PT Tonga Tiur memasok ribuan ton per tahunnya. Sementara itu untuk kebutuhan lokal, dalam jumlah yang sama dipasok oleh PT Windika Utama. Sayangnya, permintaan itu baru bisa dipenuhi sekitar 30 ribu ton rajungan atau 7.500 ton daging rajungan per tahun. Secara keseluruhan di Indonesia ada sekitar 10 perusahaan pengolah rajungan dengan total kapasitas produksi sebesar 95,25 ton/hari. Realisasinya baru sekitar 57,75 ton/hari atau sekitar 60,63 persen. Itu pun 70 persen berasal dari rajungan yang ditangkap di alam dan hanya sekitar 30 persen yang dihasilkan dari kegiatan budi daya. Sehingga peluang bisnis rajungan ini masih terbuka lebar.
Selain rajungan ukuran konsumsi sebagai komoditas ekspor unggulan, dewasa ini rajungan ukuran kecil (berat ± 1,8 gram/ekor) telah menjadi jenis makanan baru yang banyak di minati oleh orang Jepang sebagai camilan ketika minum sake. Hal ini menjadi peluang baru dalam usaha budidaya rajungan. Namun peluang ini belum diikuti dengan teknologi untuk memproduksi benih rajungan tersebut dalam skala massal.
Salah satu kendala dalam pengembangan teknologi pembenihan rajungan adalah rendahnya persentase sintasan benih atau tingkat kelangsungan hidup yang dihasilkan dan belum ada teknologi perbenihan rajungan yang mudah diaplikasikan.
2.1. Biologi Rajungan
2.1.1. Klasifikasi Rajungan
dilihat dari sistematikanya rajungan termasuk ke dalam :
·         Kingdom                      : Animalia
·         Sub Kingdom             : Eumetazoa
·         Grade                          : Bilateria
·         Divisi                            : Eucoelomata
·         Section                        : Protostomia
·         Filum                           : Arthropoda
·         Kelas                           : Crustacea
·         Sub Kelas                    : Malacostraca
·         Ordo                            : Decapoda
·         Sub Ordo                     : Reptantia
·         Seksi                           : Brachyura
·         Sub Seksi                    : Branchyrhyncha
·         Famili                           : Portunidae
·         Sub Famili                   : Portunninae
·         Genus                          : Portunus
·         Spesies                        : Portunus pelagicus
Dari beberapa jenis kepiting yang dapat berenang (swimming crab), sebagian besar merupakan jenis rajungan. Sebagai contoh yang banyak terdapat di Teluk Jakarta adalah 7 jenis rajungan seperti Portunus pelagicus, P. sanguinolentus, Thalamita crenata, Thalamita danae, Charybdis cruciata, Charibdis natator, Podophthalmus vigil.








2.1.2. Morfologi
Secara umum morfologi rajungan berbeda dengan kepiting bakau, di mana rajungan (Portunus pelagicus) memiliki bentuk tubuh yang lebih ramping dengan capit yang lebih panjang dan memiliki berbagai warna yang menarik pada karapasnya. Rajungan (Portunus pelagicus) memiliki karapas berbentuk bulat pipih, sebelah kiri-kanan mata terdapat duri sembilan buah, dimana duri yang terakhir berukuran lebih panjang. Rajungan mempunyai 5 pasang kaki, yang terdiri atas 1 pasang kaki (capit) berfungsi sebagai pemegang dan memasukkan makanan kedalam mulutnya, 3 pasang kaki sebagai kaki jalan dan sepasang kaki terakhir mengalami modifikasi menjadi alat renang yang ujungnya menjadi pipih dan membundar seperti dayung.
Induk rajungan mempunyai capit yang lebih panjang dari kepiting bakau, dan karapasnya memiliki duri sebanyak 9 buah yang terdapat pada sebelah kanan kiri mata. Bobot rajungan dapat mencapai 400 gram, dengan ukuran karapas sekitar 300 mm (12 inchi), Rajungan bisa mencapai panjang 18 cm, capitnya kokoh, panjang dan berduri-duri.
Rajungan mempunyai karapas berbentuk bulat pipih dengan warna yang sangat menarik. Ukuran karapas lebih besar ke arah samping dengan permukaan yang tidak terlalu jelas pembagian daerahnya. Sebelah kiri dan kanan karapasnya terdapat duri besar, jumlah duri sisi belakang matanya sebanyak 9, 6, 5 atau 4 dan antara matanya terdapat 4 buah duri besar.
Pada hewan ini terlihat menyolok perbedaan antara jantan dan betina. Ukuran rajungan antara yang jantan dan betina berbeda pada umur yang sama. Yang jantan lebih besar dan berwarna lebih cerah serta berpigmen biru terang. Sedang yang betina berwarna sedikit lebih coklat. Rajungan jantan mempunyai ukuran tubuh lebih besar dan capitnya lebih panjang daripada betina. Perbedaan lainnya adalah warna dasar, rajungan jantan berwarna kebiru-biruan dengan bercak-bercak putih terang, sedangkan betina berwarna dasar kehijau-hijauan dengan bercak-bercak putih agak suram. Perbedaan warna ini jelas pada individu yang agak besar walaupun belum dewasa.
2.1.3. Habitat Rajungan
habitat rajungan adalah pada pantai bersubstrat pasir, pasir berlumpur dan di pulau berkarang, juga berenang dari dekat permukaan laut (sekitar 1 m) sampai kedalaman 65 meter. Rajungan hidup di daerah estuaria kemudian bermigrasi ke perairan yang bersalinitas lebih tinggi untuk menetaskan telurnya, dan setelah mencapai rajungan muda akan kembali ke estuaria.
Rajungan banyak menghabiskan hidupnya dengan membenamkan tubuhnya di permukaan pasir dan hanya menonjolkan matanya untuk menunggu ikan dan jenis invertebrata lainnya yang mencoba mendekati untuk diserang atau dimangsa. Perkawinan rajungan terjadi pada musim panas, dan terlihat yang jantan melekatkan diri pada betina kemudian menghabiskan beberapa waktu perkawinan dengan berenang.
Sebagaimana halnya dengan kerabatnya, yaitu kepiting bakau, di alam makanan rajungan juga berupa ikan kecil, udang-udang kecil, binatang invertebrata, detritus dan merupakan binatang karnivora. Rajungan juga cukup tanggap terhadap pemberian pakan formula/pellet. Sewaktu masih stadia larva, hewan ini merupakan pemakan plankton, baik phyto maupun zooplakton.
2.1.4. Siklus Hidup
jika kondisi lingkungan memungkinkan, rajungan dapat bertahan hidup hingga mencapai umur 3 – 4 tahun. Sementara itu, pada umur 12 – 14 bulan rajungan sudah dianggap dewasa dan dapat dipijahkan. Sekali memijah, rajungan mampu menghasilkan jutaan telur. Di alam bebas, jumlah telur yang mampu menjadi rajungan dewasa sangat sedikit, karena terlalu banyak musuh alaminya.
2.2. Persyaratan Lokasi Pembenihan
Pemilihan lokasi merupakan faktor utama dalam menentukan keberhasilan pembenihan rajungan. lokasi pembenihan harus berada di tepi pantai, hal ini dikarenakan untuk penyediaan air laut sebagai media pemeliharaan. Air laut tersebut sebelum dimasukkan ke bak pemeliharaan terlebih dahulu disaring dengan menggunakan filter bag.  Bak yang akan digunakan berada didekat pantai dan penyediaan air laut lebih mudah untuk disalurkan secara langsung dengan cara dipompa, maka harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a.      Kondisi dasar laut tidak berlumpur.
b.      Air laut yang dipompa harus bersih, jernih dan tidak tercemar dengan salinitas 30 – 34 ppt.
c.      Air laut dapat dipompa secara terus menerus minimal selama 20 jam.
2.3. Penyediaan Induk
2.3.1. Sumber Induk
Untuk mendapatkan larva awal (zoea) pada pembenihan rajungan adalah dengan cara membeli induk rajungan bertelur di luar (tingkat kematangan III). Induk rajungan dapat diperoleh dari pedagang pengumpul di sekitar lokasi unit pembenihan, atau dengan memesan langsung pada nelayan rajungan. Dengan kepadatan awal larva 100 ekor/liter dan kapasitas media pemeliharaan sebanyak 8.000 liter dibutuhkan 4 ekor induk rajungan bertelur, sehingga ketika memilih induk perlu diperhatikan juga tingkat kematangan telur (embrio) pada induk rajungan. Khusus di Jepara, induk rajungan bertelur per ekornya dibeli dengan harga Rp. 15.000,-.
2.3.2. Persyaratan Induk
adapun persyaratan untuk induk rajungan yang dipakai adalah induk matang telur Tk.III, dengan ukuran lebar karapas antara 12 – 15 cm dengan berat 100 – 300 gram.
2.3.3. Pemeliharaan Induk
            Induk sebanyak 10 ekor (9 betina dan 1 jantan) ditempatkan dalam bak pemeliharaan induk yang terbuat dari beton berukuran panjang, lebar dan tinggi masing-masing 3,2 x 1,8 x 1,2 m yang diisi air laut dengan salinitas berkisar 33 – 34 ppt dan suhu berkisar 30 – 310 C. Bak pemeliharaan tersebut dilengkapi sistem sirkulasi dan diberi aerasi. Selama pemeliharaan, induk rajungan diberi pakan berupa cumi-cumi 2 kali sehari. Pergantian air dilakukan sebanyak 50% volume setiap 2 minggu sekali dan dilakukan penyiponan sisa pakan dan kotoran setiap 2 atau 3 hari sekali, bergantung sisa pakan yang ada.
2.3.4. Seleksi Induk Matang Telur
            Proses seleksi yang dilakukan adalah untuk memilih induk yang telah matang telur dan siap ditetaskan. disarankan untuk memilih induk dengan warna telur masih kuning atau orange, hal ini dapat memberi waktu antara 3 – 6 hari bagi teknisi untuk mempersiapkan sarana serta media bagi pemeliharaan larva rajungan.
            untuk mengetahui induk yang mengandung telur maka dilakukan pengamatan setiap pagi hari. Bila induk telah mengandung telur berwarna kuning, maka induk tersebut dibiarkan dahulu selama 3 hari dalam bak pemeliharaan induk. Setelah itu dipindahkan dalam bak akuarium volume 150 liter yang diberi lapisan pasir dan sirkulasi air dengan sistem ‘’double bottom’’ dan diberi aerasi. Pengamatan telur dilakukan secara intensif setiap pagi hari untuk melihat perubahan warna telur tersebut. Bila warna telur telah berubah dari kuning, ke coklat dan hitam seluruhnya dan secara mikroskopik dilihat pada pinggiran telur tersebut telah berwarna jingga, maka induk tersebut dipindahkan ke dalam wadah penetasan pada sore hari.
2.4. Pengeraman dan Penetasan Telur
sebelum dipelihara di bak pengeraman, rajungan satu persatu dibersihkan terlebih dahulu dengan air laut steril yang telah dipersiapkan, 1 ekor induk bertelur ditempatkan dalam 1 bak pengeraman. Penggantian air pada bak pengeraman dilakukan setiap hari sebanyak 100%, dan selama masa pengeraman induk bertelur tidak diberi pakan (pemuasaan) Hal ini untuk mengurangi kontaminasi dari pakan segar yang diberi terhadap telur yang sedang dierami. Selain itu, pada masa pengeraman induk rajungan tidak mau makan.
Penetasan telur berlangsung selama 1 – 2 hari setelah induk dimasukkan ke dalam bak penetasan. Penetasan berlangsung pada pagi hari antara pukul 06.30 hingga pukul 09.00 selama ± 1 – 2 jam. Dalam proses penetasan, induk rajungan akan berenang berkeliling dalam bak penetasan dengan mengibaskan kaki renangnya secara cepat sambil jalan menggaruk-menggaruk masa telur. Induk rajungan yang berukuran besar akan menghasilkan zoea lebih banyak. Seekor induk rajungan dapat menghasilkan telur sekitar 1 – 2 juta pada ukuran lebar karapas 10 cm – 12 cm dengan derajat penetasan berkisar 95% – 98%.
2.5. Pemeliharaan Larva
2.5.1. Persiapan Media Pemeliharaan Larva
Langkah awal yang dilakukan dalam pemeliharaan larva rajungan yaitu menyiapkan bak dengan melengkapi sistem aerasi dan mengisi air laut sebanyak tiga perempat dari volume bak. Diusahakan dapat mempertahankan suhu air yang konstan 29,50 C – 30,00C, salinitas air 30 – 33 ppt, pH air sekitar 8 – 8,5,  oksigen terlarut 4,5 – 5,2 mg/L atau dengan kecepatan aerasi 60 – 75 detik/Lt dan intesitas cahaya sekitar 2.500 – 3000 lux. Untuk pengaturan suhu air supaya tidak terlalu berfluktuasi antara siang dan malam, maka dapat dilakukan dengan menutup bak dengan plastik yang diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu teknisi yang bekerja atau dapat juga dengan memberikan alat pemanas otomatis.
sebelum dilakukan penebaran, bak pemeliharaan larva harus disiapkan terlebih dahulu sebaik mungkin sesuai dengan kebutuhan bagi kehidupan larva kepiting. Air yang jernih dapat diperoleh dengan proses penyaringan di saringan pasir (sand filter ) dan diendapkan selama dua hari.
air media pemeliharaan digunakan air laut dengan salinitas antara 31 – 33 ppt, yang telah disaring terlebih dahulu dengan menggunakan sand filter pada bak reservoir. Pada bak pemeliharaan dilengkapi dengan 9 buah batu aerasi dengan jarak antar batu aerasi 0,5 m. Kekuatan aerasi diatur sedemikian rupa sehingga tidak terlalu kuat atau lemah tekanannya.
2.5.2. Penebaran Larva
larva yang baru menetas (zoea-1) dari bak penetasan, dengan kondisi larva sehat umumnya berkumpul pada bagian tertentu (melayang di bagian atas media air) dan diambil secara perlahan dengan gayung. Larva kemudian ditampung dalam wadah volume 100 liter dan diberi aerasi secara terus menerus dan dihitung. Larva rajungan diberi larutan formalin dosis 25 mg/L selama 30 menit, dan iodine dosis 150 mg/L selama 10 menit, dengan maksud agar terbebas dari kontaminasi bakteri, parasit dan jamur. Pemberian formalin dan iodine dapat dilakukan dengan melarutkannya dalam gayung kemudian dituangkan secara perlahan dalam bak larva. Larva rajungan yang sehat ditunjukkan dengan gerakan yang lincah, ukurannya cukup besar (panjang karapas : 500 – 550 mm).
dengan padat penebaran sebesar 50 – 100 ekor/liter, maka untuk bak pembenihan rajungan dengan volume media pemeliharaan 8.000 liter dibutuhkan larva zoea sebanyak 400.000 – 800.000 ekor. Larva yang sudah diseleksi dan dihitung kemudian ditebar pada bak pemeliharaan larva secara hati-hati.
2.5.3. Pengelolaan Pakan
Selama masa pemeliharaan, larva rajungan diberi pakan berupa makanan alami dan pakan tambahan (artificial feed). pakan yang digunakan selama pemeliharaan rajungan adalah sebagai berikut :
a. Chlorella sp
Pemberian inokulant chlorella sp dilakukan sebelum larva zoea rajungan ditebar ke bak pembenihan dengan kepadatan 50.000 – 500.000 sel/ml, kepadatan demikian terus dipertahankan hingga rajungan menjadi benih dan siap untuk dipanen. Chlorella sp yang diberikan berfungsi sebagai pakan bagi rotifera sekaligus mengurangi intensitas cahaya matahari masuk. Penambahan inokulant plankton ke media pembenihan tergantung pada kepadatan chlorella sp di air media pembenihan.
b. Rotifera (Brachionus sp)
Rotifera diberikan setelah larva zoea ditebar ke bak pembenihan, pemberian rotifera dilakukan selama 7 hari yaitu pada saat penebaran hingga hari ke-6 dengan kepadatan sebesar 5 – 15 ekor/ml. Rotifera diberikan hanya sekali sehari dan diberikan pada pagi hari. Untuk bak pembenihan rajungan kapasitas 8.000 liter diperlukan 6,25 – 10 ekor/ml.
c. Naupli Artemia
Naupli artemia diberikan pada hari ke-2 setelah penebaran larva zoea hingga larva rajungan menjadi crab 1 (hari 13 atau 14). Naupli artemia diberikan berkisar 5 – 20 Naupli/larva/hari. Pada awal pemeliharaan yaitu dari umur 1 – 6 hari naupli yang diberikan sebesar 5 – 7 Naupli/larva/hari. Ketika larva rajungan mulai umur 7 hari hingga hari ke-13 naupli artemia yang diberikan adalah sebesar 10 – 20 Naupli/larva/hari. Naupli artemia diberikan 2 kali yaitu pada pagi hari (Jam 08.00 WIB) serta malam hari (jam 20.00 WIB).
artemia sangat populer di pasaran dengan merek dagang yang bermacam-macam. Juga dengan kemasannya. Kista artemia dalam kemasan kaleng vakum seberat 425 g/kaleng, sementara dalam kemasan plastik antara 500 – 1000 gram. Untuk menyiapkan pakan larva rajungan yang berupa nauplius artemia, pertama dengan menyiapkan bak penetasan kista artemia dengan mengikuti petunjuk yang ada dalam kaleng kista tersebut.
d. Pakan Buatan
Pada pembenihan rajungan, pakan buatan yang dipergunakan merupakan pakan komersial yang biasa dipergunakan pada pembenihan udang windu. Ukuran pakan yang digunakan berkisar antara 100 – 400 mikron, dimana ukuran pakan 100 – 150 mikron pada hari 1 – 6, ukuran 200 – 300 mikron pada hari 7 – 13 sedangkan ukuran > 400 mikron dipergunakan mulai umur pemeliharaan hari ke-14 . Frekuensi pemberian pakan buatan 4x sehari, dengan dosis pakan yang diberikan mulai 0,4 ppm hingga 1 ppm. Pakan buatan mulai diberikan pada hari pertama hingga larva zoea rajungan siap panen.
e. Udang Kupas
Pemberian udang kupasan yang telah dihaluskan (diblender) dilakukan ketika larva rajungan menjadi Crab-1 (hari 13 atau 14) hingga panen (Crab-5 pada hari ke-16). Jumlah udang kupas halus yang diberikan berkisar 10 – 30 gram per 5.000 ekor crab. Biasanya udang kupas halus pada crab 1 2  diberikan sebanyak 160 – 200 gram per harinya, jumlah pemberian udang kupas halus ini akan meningkat hingga 450 gram mulai crab 3 hingga benih siap dipanen.
Tabel 1. Dosis pakan komersial, rotifera dan naupli artemia yang diberikan selama pemeliharaan larva rajungan
Stadia
Larva
Dosis
pakan
komersial g/M3/hari
Ukuran
partikel
pakan
komersial
(mm)
Frekuensi
pemberian
(kali/hari)
Kepadata
rotifera
(ind./mL)
Kepadata
artemia
(ind./mL)
Zoea- 1
0,5 – 2
5 – 30
3
7
0,5
Zoea- 2
2 – 3
30 – 90
3
10
1,0
Zoea- 3
4 – 5
30 – 90 dan
150 – 200
3
15
1,5
Zoea- 4
6 – 8
150 – 200
3
20
2,0
Megalopa
8 – 10
150 – 200
3
-
2,0
Sumber : Susanto, dkk., (2005).
2.5.4. Pengelolaan Kualitas Air Media Pemeliharaan Larva
Sumber air yang baik digunakan dalam pemeliharaan larva rajungan berupa air laut yang disaring dengan filter pasir, kemudian disucihamakan dengan chlorin. sumber air untuk pemeliharaan larva rajungan berasal dari laut yang telah disaring dengan filter pasir, kemudian disterilkan dengan Sodium hypochlorit dan dinetralkan dengan Sodium thiosulfate.
Pergantian air dalam bak pemeliharaan larva dimulai saat stadia zoea-2 yaitu sebanyak 10% per hari, kemudian meningkat sampai stadia megalopa menjadi 20% – 50% per hari.
pergantian air dapat dilakukan setelah menginjak zoea-3, yaitu sebanyak 25%. Pergantian air dapat ditingkatkan menjadi 30% untuk zoea-4 dan stadium megalopa ke atas. Pergantian air diatur sedemikian rupa sehingga salinitasnya pelan-pelan turun hingga pada salinitas 25 ppt pada saat larva mencapai fase kepiting muda (crab). Pada saat pergantian air hendaknya diusahakan agar tidak terjadi perubahan (fluktuasi) suhu dan salinitas yang terlalu tinggi.
2.5.5. Monitoring Pertumbuhan
Laju pertumbuhan dan tingkat kehidupan (Survival rate) dapat diketahui dengan cara melakukan sampling. Sampling dilakukan pada malam hari karena larva rajungan tertarik pada cahaya (Fototaksis positif) sehingga memudahkan pengamatan terhadap larva. Jika permukaan air bak diberi sinar, (misalnya lampu senter), maka larva akan berkumpul di permukaan air. Untuk mengambil sampel, larva dapat diambil dengan menggunakan pipa sepanjang ± 1,5 m yang dilengkapi kran.
Pengambilan sampel dilakukan dengan mencelupkan pipa dalam keadaan kran terbuka sampai tinggi air dalam pipa sama dengan tinggi air dalam bak pemeliharaan larva. Kemudian, kran ditutup dan ujung pipa bagian bawah disumbat dengan telapak tangan. Dengan demikian, air sampel dalam pipa terhisap ke atas sehingga pada saat diangkat air sampel tidak jatuh kedalam bak pemeliharaan larva. Sampling dilakukan minimal 2 hari sekali karena masa kritis benih rajungan terletak pada larva, terutama larva yang masih stadia zoea. Untuk memudahkan perhitungan larva, sebaiknya disediakan alat penghitung larva. Agar tampak jelas pada perhitungan larva, maka diperlukan wadah yang berwarna putih untuk menampung sampel yang akan dihitung.
Perkembangan zoea dimonitor setiap hari dengan melihat perubahan bentuk zoea di bawah mikroskop. Pengamatan perkembangan zoea ini penting karena berhubungan dengan jenis dan dosis pakan yang akan diberikan. Perkembangan stadia zoea rajungan yang tersaji pada Gambar 4. Pada stadia zoea-1 dapat ditandai dengan melihat pereiopod berjumlah 4 buah, sedang zoea-2 berjumlah 6 buah atau lebih. Stadia zoea-3, mulai muncul/tumbuh pleopod, dan zoea-4 pleopod tumbuh lebih panjang, kemudian bermetamorfosis menjadi megalopa.
2.5.6. Pengendalian Penyakit
Selain melakukan kegiatan penggantian air untuk menjaga kualitas air tetap baik, dilakukan pula usaha preventif (pencegahan) timbulnya penyakit dengan cara pemberian obat-obatan. Pemberian obat-obatan ini dilakukan setiap tiga hari sekali. Obat-obatan yang digunakan selama melakukan pemeliharaan larva rajungan ini adalah antibiotik Erithromycin 1,3 ppm, herbisida treflan 0,02 ppm dan Furazolidon 1 ppm. Pemberian obat-obatan ini dilakukan berselang-seling dengan maksud agar spectrum organisme pathogen yang dikendalikan lebih luas.
Respon larva rajungan terhadap obat-obatan dan antibiotik yang diberikan selama pemeliharaan cukup baik yaitu larva rajungan tidak mati saat diberi perlakuan tersebut. Namun demikian, penggunaan obat-obatan atau antibiotik secara terus menerus tidak dianjurkan. Untuk mencegah timbulnya penyakit pada pemeliharaan larva rajungan dapat dilakukan dengan menjaga keseimbangan bilogis medium pemeliharaan larva.
2.6. Panen dan Pasca Panen
2.6.1. Panen
kegiatan panen dilakukan setelah seluruh larva memasuki stadia crab-1, yakni setelah berkisar 30 – 40 hari pemeliharaan. Ukuran crab-1 yang dipanen mempunyai lebar karapas antara 2 – 4 mm dan panjang 2 – 4 mm. Alat yang diperlukan untuk panen larva rajungan adalah saringan, serok dan mangkok plastik.
Cara panen larva rajungan dilakukan dengan cara mengurangi air media pemeliharaan melalui saringan hingga mencapai ketinggian air 10 cm. Kemudian benih ditangkap dengan menggunakan scopnet/seser.
2.6.2. Pasca Panen
            Larva rajungan yang dipanen ditampung di dalam ember plastik yang diberi aerasi lemah. Penghitungan larva dilakukan dengan menggunakan mangkok plastik putih. Kemudian, benih rajungan yang telah dihitung segera dipindahkan ke dalam wadah yang telah dipersiapkan sebelumnya dengan dasar bak yang diberi pasir halus setebal 0,5 cm sebagai tempat untuk berlindung.

Rabu, 12 November 2014

Budidaya Udang Windu


                                                                            

Pembenihan udang windu (Penaeus monodon)
sekarang sudah berkembang di beberapa nagara termasuk Indonesia, sebenarnya merupakan kerja keras para ahli udang selama bertahun-tahun untuk memaksa induk udan yang tadinya sulit bertelur menjadi mudah bertelur. Hasil tersebut mulai dipraktekkan di Indonesia sejak tahun 1978 dengan teknik ablasi mata. Walhasil,
petani tambak kita sekarang tidak harus bersusah payah menangkap benur di laut yang jumlahnya terbatas, tetapi dapat langsung memesan benih sesuai dengan kebutuhan di panti pembenihan, tanpa harus menunggu lagi musim benur.
Budidaya udang windu (Penaeus monodon) telah banyak dilakukan di berbagai negara yang memiliki perairan laut, sehingga produksinya dari tahun ke tahun terus meningkat sesuai dengan meningkatnya ilmu budidaya udang ini. Di Indonesia budidaya udang ini juga berkembang sangat pesat dari cara yang masih tradisional (ekstensif), sampai ke cara-cara yang lebih modern (intensif) dan hasilnya terus meningkat sesuai dengan meningkatnya lahan budidaya.
Sebagai makhluk hidup, udang juga mempunyai musuh. Musuh ini dapat berupa hama yang menyerang udang secara langsung (pemangsa udang), maupun berupa jasad renik baik mjenis bakteri, virus, maupun parasit, sehingga merupakan kendala dalam budidaya yang dapat menurunkan hasil produksinya.
,menjelaskan bahwa banyak atau sediktnya keuntungan yang diperoleh dari usaha udang ini, tidak lepas dari penanganan panen dan pascapanennya, dan hal ini pun sangat tergantung pada kualitas udang yang dihasilkan. Penanganan pascapanen yang buruk dapat menyebabkan rusaknya udang, sehingga tidak memenuhi syarat untuk ekspor. Dengan turunnya kualitas udang, maka harganya pun menjadi jatuh dan dapat merugikan usaha tambak udang ini.
Hal inilah yang kemudian menjadi alasan dilaksanakannya praktek lapang Dasar-Dasar Akuakultur agar mas yarakat dapat mengetahui bagaimana perbedaan prinsip kerja pada tambak ekstensif, semi-intensif, dan intensif serta mengetahui tahap persiapan tambak hingga pascapanen.


Gambaran Umum Tambak Tradisional

Petakan tambak pada tingkat budidaya ini , bentuk dan ukuran tidak
teratur. Luasnya antara 3 ha sampai 10 ha per petak. Biasanya setiap petakan
mempunyai saluran keliling (caren) yang lebarnya 5-10 m di sepanjang  keliling petakan sebelah dalam. Di bagian tengah juga di buat caren dari sudut ke sudut(diagonal). Kedalaman caren itu 30-50 lebih dalam daripada bagian lain dari dasar petakan yang disebut pelataran. Bagian pelataran hanya dapat berisi air sedalam 30-40 cm saja. Pada tempat ini akan tumbuh kelekap sebagai pakan alami bagi ikan bandeng dan udang. Pada tambak tradisional, semula tambak tidak dipupuk sehingga produktifitas semata-mata tergantung dari kesuburan alamiah pula.Pemberantasan ham ju ga tidak dilakukan, sehingga benih bandeng yang dipelihara banyak yang hilang/mati. Akibatnya produkti v itas semakin rendah.



                                                 Gambar Tambak Tradisional

Gambaran Umum Tambak Semi-Intesif
Metode atau sistem budidaya ini merupakan peningkatan / perbaikan dari sistem tradisional /ekstensif yaitu dengan memperkenalkan bentuk petakan yang teratur dengan maksud agar lebih mudah dalam pengolahan airnya. Bentuk petakan umumnya empat persegi panjang dengan luas 1-3 ha per petakan. Pada tambak semi-intensif pengolahan air cukup baik , ketika ada air pasang naik, sebagian air tambak itu digantikan dengan air baru sehingga kualitas air cukup terjaga dan kehidupan udang sehat. Pemberantasan hama dilakukan pada waktu
persiapan tambak sebelum penebaran benur. Serangan hama juga di cegah
dengan melakukan pemasangan sistem saringan pada pintu-pintu air.
                                                                   

Gambaran Umum Tambak Intensif

Budidaya udang di tambak ialah kegiatan usaha pemeliharaan atau
pembesaran udang di tambak mulai dari ukuran benih (benur) sampai menjadi
ukuran yang layak untuki dikonsumsi. Budidaya udang laut sudah sejak seabad
yang lalu dipraktekkan di banyak negara di Asia , termasuk juga di indonesia .
Sampai dasawarsa yang lalu komoditi udang umumnya digolongkan sebagai
hasil sampingan di tambak , karena tambak itu terutama digunakan untuk
memelihara ikan bandeng . Benih udang secara alami masuk ke dalam tambak
bersama air pasang yang mengaliri tambak itu. Budidaya udang intensif
dilakukan dengan teknik yang canggih dan memerlukan masukan (input) biaya
yang besar , sebagai imbangan dari masukan yang tinggi maka dapat dicapai
volume produksi yang sangat tinggi pula.
Petakan umumnya kecil-kecil, 0,2-0,5 ha per petak. Maksudnya supaya
pengelolahan air dan pengawasan lebih mudah. Kolam atau petakan
pemeliharaan dapat dibuat dari beton seluruhnya atau dari tanah seperti biasa.
Atau dindingnya saja dari tembok sedangkan dasar masih tanah. Ciri khas dari
teknis budidaya intensif ini ialah padat penebaran benur sangat tinggi yaitu
50.000 sampai 600.000 ekor /ha . Makanan sepenuhnya tergantung dari
makanan yang di berikan dengan komposisi yang ideal bagi pertumbuhan udang.


SYARAT-SYARAT PEMILIHAN LOKASI TAMBAK

Berdasarkan kebiasaan hidup, tingkah laku dan sifat udang atau ikan itu
sendiri, maka dalam memilih lokasi tambak baik dalam rangka membuat tambak
baru maupun dalam perbaikan tambak yang sudah ada, sebaiknya memenuhi
persyaratan sebagai berikut:

Memiliki sumber air yang cukup, baik air laut maupun air tawar dan tersedia
sepanjang tahun atau setidaknya 10 bulan dalam setahun, tetapi bukan
daerah banjir

Memiliki saluran saluran air yang lancar, baik untuk pengisian waktu pasang
maupun membuang air waktu surut dan sumber air serta lingkungan bebas dari pencemaran.

Kadar garam air berkisar 10-25 ppm dan derajat keasaman (pH) berkisar 7-8.5

Tanah dasar tambak terdiri dari Lumpur berpasir dengan ketentuan
kandungan pasirnya tidak lebih dari 20%.
A.
PERSIAPAN TAMBAK

Pengeringan

Pengeringan merupakan proses dimana seluruh air yang berada di area
tambak dikeringkan total sampai tanah mengerut.
Persiapan tanah dasar tambak
yang pertama kali dilakukan adalah pengeringan total kemudiaan penjemuran
tanah dasar dibawah terik matahari hingga tanahnya retak. Lama penjemuran sekitar
1-2 minggu, tergantung dari kondisi cuaca. Khusus tambak yang pernah
digunakan untuk memelihara udang, lapisan atas tanah dasar tambak perlu
dibuang karena mengandung timbunan sisa pakan yang sudah membusuk.
Pembuangan lapisan atas tanah dasar dilakukan dengan cangkul. Jika kondisi
tanah dasar tambak tidak terlalu buruk, pembuangan lapisan atas tidak perlu
dilakukan , tetapi cukup membalik tanah dasar dengan cangkul atau bajak.

Pengapuran

Pengapuran merupakan proses kedua dalam pembuatan tambak yang
mana pengapuran merupakan proses penaburan kapur pertanian.Jika proses pengeringan dan pembalikan tanah dasar dianggap cukup
, selanjutnya dilakukan pengapuran dengan kapur pertanian. Pengapuran
tidak hanya dilakukan di tanah
dasar tambak, tetapi juga di dinding tanggul bagian dalam yang mengarah ke
tambak. Cara pengapuran adalah menyebar kapur secara merata ke seluruh
tanah dasar dan dinding tanggul.

Pemupukan

Pemupukan adalah proses pemberian pupuk pada tambak. Setelah
dilakukan tahap-tahap sebulumnya, air tambak harus dipupuk dengan pupuk
NPK dosis 4-5 ppm dan penambahan pupuk organik (kotoran ayam) dosis 0,1
ppm. Gunanya, untuk menyuburkan pertumbuhan plankton setelah plankton mati
karena aplikasi klorin. Bila plankton sama sekali tidak tumbuh maka harus
dimasukkan bibit plankton yang diperoleh dari laboratorium yang membuat kultur
tersebut. Bila plankton tidak dibenarkan diambil dari tambak lain karena
kekhawatiran akan tertular penyakit.

Persyaratan kualitas air tambak yang siap untuk di tebari benur antara
lain, kecerahan 35-45 cm (diukur dengan secchi disk), warna air coklat muda
atau hijau,
pH air 7,5-8,5, oksigen terlarut (DO) 3-4 ppm, dan kedalaman air
> 70 cm. Untuk petani yang memiliki alat pemeriksaan kualitas air dan tanah
yang lengkap, dapat diukur juga alkalinitas
90-140 ppm dan total bahan organik
kurang dari 150 ppm.
B.
PENEBARAN
1.
Kepadatan
Kepadatan benur yang ditebar tergantung dari metode budidaya yang
diterapkan, kondisi tambak (daya dukung), kualitas air, dan sarana penunjang
yang tersedia, seperti aerator (kincir air) dan pompa air. Padat tebar benur pada
budidaya udang secara intensif adalah 150.000-300.000 ekor/ha. Jika tambak
memiliki daya dukung yang prima dan prasarana yang memadai, padat tebar
bisa lebih tinggi, tetapi penambahan padat tebar ini dipertimbangkan lebih matang

Padat penebaran benih udang windu bila diberikan pakan tambahannya
dedak halus, penebarannya sebanyak 100-200 ekor per meter persegi, dan jika
diberi makanan tambahan pelet yang berkadar protein 25%, penebaran benih
sebanyak 300-400 ekor per meter persegi. Benih udang windu akan cepat
tumbuhnya, kalau di
pelihara dalam tambak yang baik.

2.
Waktu yang Baik Untuk Penebaran
Waktu yang baik untuk penebaran yaitu kondisi yang cocok untuk proses
penebaran.
Penebaran sebaiknya dilakukan saat teduh,seperti pada pagi hari
atau sore hari.
Hindari penebaran benur ketika hujan atau terik matahari karena
akan menyebabkan stress,
bahkan bisa memicu kematian udang windu.

3.
Kriteria Bibit yang Baik
Benur/benih udang bisa didapat dari tempat pembenihan (Hatchery) atau
dari alam. Di alam terdapat dua macam golongan benih udang windu (benur)menurut ukurannya.
Benih yang masih halus, yang disebut post larva. Terdapat di tepi-tepi
pantai. Hidupnya bersifat pelagis, yaitu berenang dekat permukaan air.
Warnanya coklat kemerahan. Panjang 9-15 mm. Cucuk kepala lurus atau sedikit
melengkung seperti huruf S dengan bentuk keseluruhan seperti jet. Ekornya
membentang seperti kipas.

Benih yang sudah besar atau benih kasar yang disebut juvenil. Biasanya
telah memasuki muara sungai atau terusan. Hidupnya bersifat benthis, yaitu suka
berdiam dekat dasar perairan atau kadang menempel pada benda yang
terendam air. Sungutnya berbelang-belang selang-seling coklat dan putih atau
putih dan hijau kebiruan. Badannya berwarna biru kehijauan atau kecoklatan
sampai kehitaman. Pangkal kaki renang berbelang-belang kuning biru

A.
PEMELIHARAAN
Pemeliharan udang windu dilakukan setalah menebarkan benih. Dalam
pemeliharaan hal yang perlu dilakukan adalah mengawasi apabila ada gangguan
yang mengancam kegagalan usaha produksi udang windu. Selama
pemeliharaan berlangsung, agar udang tidak kekurangan pakan alami, petambak
dapat memproduksi pakan dengan cara pemupukan tambak dengan urea dan
TSP. Pupuk buatan ini mudah larut dalam air hingga dapat mendorong
pertumbuhan plankton sebagai pakan alami.Pemupukan bertujuan untuk
mendorong pertumbuhan pakan alami, yaitu kelekap, lumut, plankton dan
bentos. Cara membudidayakan kelekap, lumut, dan diatomae dilakukan pada
masa pemeliharaan udang.

Pakan Dan Pemberian Pakan
Cara menyediakan kelekap sebagai pakan alami pada pemeliharan
udang windu adalah dengan mengolah tanah dasar tambak. Tambak dikeringkan
dengan sebelumnya ditaburi dedak kasar sebanyak 500 kg/ha.
Kemudian ditaburi pupuk kandang seperti kotoran ayam, kerbau, kuda, dan lainnya, atau dapat menggunakan
pupuk kompos sebanyak 1000kg/ha. Isi
tambak dengan air sampai 5-10 cm, biarkan tergenang dan menguap sampai
kering. Tambahkan pupuk anorganik kembali, yaitu urea 75 kg/ha dan TSP
sebanyak 75 kg/ha. Sesudah 5 hari kelekap mulai tumbuh. Air dapat di tinggikan
secara berangsur-angsur, hingga kedalaman 40 cm diatas dasar tambak.
Selama pemeliharaan udang, lakukan pemupukan susulan sebanyak 1 sampai 2
kali sebulan dengan menggunakan urea 10-25 kg/ha dan TSP 5-15 kg/ha.

Hama dan Penyakit
a.
Hama

1.
Lumut
Lumut yang pertumbuhannya berlebihan. Pengendalian: dapat dengan
memelihara bandeng yang berukuran 8-12 cm sebanyak 200 ekor/ha.
2.
Bangsa ketam membuat lubang di pematang, sehingga dapat
mengakibatkan bocoran-bocoran.
3.
Udang tanah (Thalassina anomala), Membuat lubang di pematang.
4.
Hewan-hewan penggerek kayu pintu air mrusak pematang, merusak
tanah dasar, dan merusak pintu air seperti remis penggerek (Teredonavalis), dan lain-lain.
5.
Tritip (Balanus sp.) dan tiram (Crassostrea sp.) menempel pada
bangunan-bangunan pintu air. Pengendalian hama bangsa ketam, udang
tanah, hewan-hewan penggerek kayu pintu air sama dengan
pengendalian lumut.
b.
Golongan pemangsa (predator), dapat memangsa udang secara langsung,
termasuk golongan buas, antara lain:
1.
Ikan-ikan buas, seperti payus (Elops hawaiensis), kerong-kerong(Tehrapon tehraps),
 kakap (Lates calcarifer), keting (Macronesmicracanthus), kuro (
Polynemus sp.), dan lain-lain.
2.
Ketam-ketaman, antara lain adalah kepiting (
Scylla serrata).
3.
Bangsa burung, seperti blekok (Ardeola ralloides speciosa) cangak(Ardea cinera rectirostris),
 pecuk cagakan (Phalacrocorax carbo sinensis),
pecuk ulo (Anhinga rufa melanogaster), dan lain-lain.
4.
Bangsa ular, seperti ular air atau ular kadut (Cerberus rhynchops,
Fordonia leucobalia, dan Chersidrus granulatus).
5.
Wingsang, wregul, sero, atau otter (Amblonyx cinerea dan Lutrogaleperspicillata).
c.
Golongan penyaing (kompetitor) adalah hewan yang menyaingi udang dalam
hidupnya, baik mengenai pangan maupun papan.

1.
Bangsa siput, seperti trisipan (
Cerithidea cingulata), congcong(Telescopium telescopium).
2.
Ikan liar, seperti mujair (Tilapia mosambica), belanak (Mugil spp), rekrek
(Ambassis gymnocephalus), pernet (Aplocheilus javanicus), dan lain-lain.
3.
Ketam-ketaman, seperti Saesarma sp.dan Uca sp.
4.
Udang, yaitu udang kecil-kecil terutama jenis
Cardina denticulata, dan lain-lain.
d
.
Penyakit asal virus.
1.
Monodon Baculo
Virus (MBV)
Keberadanya tidak perlu dikhawatirkan, karena tidak berpengaruh terhadap
kehidupan udang. Penyebab: kondisi stres saat pemindahan post larva ke kolam
pembesaran.
2.
Infectious Hypodermal Haemato
poietic Necrosis Virus (IHHNV)
gejala
:
1.
Udang berenang tidak normal, yaitu sangat perlahan-lahan, muncul ke
permukaan dan mengambang dengan perut di ata;
2.
Bila alat geraknya (pleopod dan Periopod) berhenti bergerak, udang akan
tenggelam di bawah kolam;
3.
Udang akan mati dalam waktu 4-12 jam sejak mulai timbulnya gejala
tersebut. Udang penderita banyak yang mati pada saat moulting;
4.
Pada kondisi yang akut, kulitnya akan terlihat keputih-putihan dan
tubuhnya berwarna putih keruh;
5.
Permukaan tubuhnya akan ditumbuhi oleh diatomae, bakteri atau parasit
jamur;
6.
Padakulit luar terlihat nekrosis pada kutikula, syaraf, antena, dan pada
mukosa usus depan dan tengah. Pengendalian: perbaikan kualitas air.
3.
Hepatopancreatic Parvo-like Virus Gejala: terutama menyerang
hepatopankreas, sehingga dalam pemeriksaan hepatopankreasnya secara
mikroskopik terlihat degenerasi dan adanya inklusion bodies dalam se-sel
organ tersebut. Pengendalian: perbaikan kualitas air.
2.
Cytoplamic Reo-like Virus Gejala:
1.
Udang
berkumpul di tepi kolam dan berenang di permukaan air;
kematian udang di mulai pada hari 7-9 setelah penebaran benih (stocking) di
kolam post larva umur 18 hari. Pengendalian: belum diketahui secara pasti, yang
penting adalah perbaikan kualitas air.
3.
Ricketsiae
Gejala:
1.
udang berenang di pinggir kolam dalam keadaan lemah;
2.
udang berwarna lebih gelap, tak ada nafsu makan, pada beberapa udang
terlihat benjolan-benjolan kecil keputih-putihan pada dinding usus bagian
tengah
(mid gut);
3.
adanya koloni riketsia, peradangan dan pembengkakan jaringan ikat;
4.
kematian udang mulai terjadi pada minggu ke-7 atau 9 setelah penebaran
benih (post larva hari ke-15-25). Angka kematian naik pada hari ke-5
sampai 7, sejak mulai terjadi kematian, kemudian menurun sampai tak
ada kematian. Tiga hari kemudian kematian timbul lagi, begitu seterusnya
sampai udang dipanen. Pengendalian: menggunakan antibiotik
(oksitetrasiklin, sulfasoxasol, dan nitrofurazon) dicampur makanan dapat
mengurangi angka kematian, tetapi bila konsentrasi antibiotik menurun,
kematian akan timbul lagi.
e.
Penyakit asal Bakteri
1.
Bakteri nekrosis

Penyebab:
1.
bakteri dari genus Vibrio;
2.
merupakan infeksi sekunder dari infeksi pertama yang disebabkan oleh luka,
erosi bahan kimia atau lainnya.

Gejala:
1.
muncul beberapa nekrosis (berwarna kecoklatan) di beberapa tempat
(multilokal), yaitu pada antena, uropod, pleopod, dan beberapa alat
tambahan lainnya;
2.
usus penderita kosong, karena tidak ada nafsu makan.

Pengendalian:
1.
Pemberian antibiotik dalam kolam pembenihan, miaslnya furanace 1 mg/l,
oksitetrasiklin 60-250 mg/l dan erytromycin 1 mg/l;
2.
Pengeringan, pembersihan dan disinfeksi dalam kolam pembenihan, serta
menjaga kebersihan alat-alat yang digunakan;
3.
pemeliharaan kualias air dan sanitasi yang baik.
2.
Bakteri Septikemia

Penyebab:
1.
Vibrio alginolictus, V. parahaemolyticus, Aeromonas sp., dan Pseudomonas
sp.;
2.
merupakan infeksi sekunder dari infeksi pertama yan disebabkan defisiensi
vitamin C, toxin, luka dan karena stres yang berat.

Gejala:
1.
menyerang larva dan post larva;
2.
terdapat sel-sel bakteri yang aktif dalam haemolymph (sistem darah udang).

Pengendalian:
1.
pemberian antibiotik dalam kolam pembenihan, misalnya furanace 1 mg/l,
oksitetrasiklin 60-250 mg/l dan erytromycin 1 mg/l;
2.
pemeliharaan kualias air dan sanitasi yang baik.
f.
Penyakit Asal Parasit
Dapat menyebabkan penurunan berat badan, penurunan kual
itas, kepekaan
terhadap infeksi virus/bakteri dan beberapa
parasit dapat menyebabkan
kemandulan (Bopyrid).
1
.
Parasit cacing
a.
Cacing Cestoda, yaitu


Polypochepalus sp
., bentuk cyste dari cacing ini terdapat dalam jaringan
ikat di sepanjang syaraf bagian ventral.

Parachristianella monomegacantha
, berparasit dalam jaringan inter-
tubuler hepatopankreas.
a.
Cacing Trematoda:
Opecoeloides
sp
.,yang ditemukan pada dinding
proventriculus dan usus

b.
Cacing Nematoda:
Contracaecum sp.,menyerang hepatopankreas
udang yang hidup secara alamiah

1.
Parasit Isopoda
Dapat menghambat perkembangan alat reproduksi udang. Parasit ini
menempel di daerah branchial insang (persambung antara insang dengan
tubuh udang), sehingga menghambat perkembangan gonad (sel telur) pada
udang.
g
.
Penyakit Asal Jamur

Menyerang udang periode larva dan post larva yang dapat mati dalam waktu
24 jam.

Penyebab:
a.
Jamur Phycomycetes yang termasuk genus Lagenedium dan Sirolpidium;
b.
penyebarannya terjadi pada waktu
pemberian pakan
.
A.
PANEN
1.
Waktu Panen dan Ukuran Panen
Udang windu yang dipelihara secara semi-intensif, pertumbuhannya agak
lambat disbanding dengan pada budidaya intensif. Karena pada tambak intensif
air tambak sering diganti dan pakan cukup bermutu sehingga pertumbuhan
udang cepat. Pada tambak semi-intensif, dalam waktu pemeliharaan 4-5 bulan
udang baru mencapai berat rata-rata 25-28 gram/ekor. Sedangkan pada tambak
intensif dalam waktu pemeliharaan
4 bulan atau kurang berat udang dapat
mencapai 35-40 gram/ekor

.
2.
Metode Panen
Metode
pemanenan ialah dengan menggiring udang yang umumnya
berada di dasar tambak. Al
at yang digunakan kerei atau ja
ring yang lebarnya
caren. Lumpur dasar tempat udang bersembunyi itu didorong beramai-ramai oleh
beberapa orang yang memegangi kerei atau jarring itu, menuju ke depan pintu
air. Di depan pintu air udang dicegat dengan kerei yang lain. Udang yang
terkumpul di kubangan dekat pintu air itu dengan mudah diambil.
Cara menangkap udang secara total yang lebih baik ialah dengan
memasang jarring penadah yang cukup luas/panjang disaluran pembuangan air.
Pintu air dibuka dan diatur agar air mengalir perlahan-lahan sehingga udang
tidak banyak tert
inggal bersembunyi dalam Lumpur
(Suyanto, 2006).
Udang yang siap panen adalah udang yang telah berumur 5-6 bulan
masa pemeliharaan. Dengan syarat mutu yang baik, yaitu (Suyanto, 2006) :
1.
Ukurannya besar
2.
Kulitnya keras, bersih, licin, bersinar dan badan tidak cacat
3.
Masih
dalam keadaan hidup dan segar.
Jenis – Jenis
Panen
1.
Panen Selektif
a.
Panen
menggunakan Prayang, yang terbuat dari bambu, yang terdiri dari
dua bagian, yaitu kere sebagai pengarah dan perangkap berbentuk
jantung sebagai tempat jebakan. Prayang dipasang di tepi tambak, dengan
kerenya melintang tegak lurus pematang dan perangkapnya berada di
ujung kere. Pemasangan prayang dilakukan malam hari pada waktu ada
pasang besar dan di atasnya diberi lampu untuk menarik perhatian udang.
Lubang prayang dibuat 4 cm, sehingga yang terperangkap hanya udang
besar saja. Pada lubang mulut dipasang tali nilon atau kawat yang
melintang dengan jarak masing-masing sekitar 4 cm.
a.
Panen
menggunakan jala lempar. Penangkapan dilakukan malam hari. Air
tambak dikurangi sebagian untuk memudahkan penangkapan.
Penangkapan dilakukan dengan masuk ke dalam tambak. Penangkapan
dengan jala dapat dilakukan apabila ukuran udang dalam tambak tersebut
seragam.
b.
Panen
menggunakan tangan kosong. Dilakukan pada siang hari, karena
udang biasanya berdiam diri di dalam lumpur.
2.
Panen Total
a.
Panen total dapat dilakukan dengan mengeringkan
tambak. Pengeringan
tambak dapat dilakukan dengan pompa air atau apabila tidak ada harus
memperhatikan pasang surut air laut. Malam/dini hari menjelang
penangkapan, air dikeluarkan dari petak tambak perlahan-lahan waktu air
surut. Pada tambak semi intensif, air disurutkan sampai caren, sehingga
kedalaman air 10-20 cm.
b.
Panen
menggunakan seser besar yang mulutnya direndam di lumpur
dasar tambak/caren, lalu didorong sambil mengangkatnya jika diperkirakan
sudah banyak udang yang masuk dalam seser. Dan cara tersebut
dilakukan berulang-ulang.Dengan menggunakan jala, biasanya dilakukan
banyak orang.
c.
Panen menggunakan kerei atau jaring yang lebarnya sesuai dengan
lebar caren. Lumpur dasar tempat udang bersembunyi didorong beramai-
ramai oleh beberapa orang yang memegangi kerei atau jaring itu, menuju
ke depan pintu air. Di depan pintu air udang dicegat dengan kerei lainnya.
Udang terkumpul di kubangan dekat pintu ai, sehingga dengan mudah
ditangkap.
d.
Panen
memasang jaring penadah yang cukup luas atau panjang di saluran
pembuangan air. Pintu air dibuka dan diatur agar air mengalir perlaha-
lahan, sehingga udang tidak banyak tertinggal bersembunyi dalam lumpur.
Udang akan keluar bersama air dan tertadah dalam jaring yang terpasang
dan dengan mudah ditangkapi dengan seser.
e.
Panen
menggunakan jaring (trawl) listrik. Jaring ini berbentuk dua buah
kerucut. Badan kantung mempunyai bukaan persegi panjang. Mulut
kantung yang di bawah di pasang pemberat agar dapat tenggelam di
lumpur. Bagian atas mulut jaring diberi pelampung agar mengambang di
permukaan air. Bagian bibir bawah mulut jaring dipasang kawat yang
dapat dialiri listrik berkekuatan 3-12 volt. Listrik yang mengaliri kawat di
dasar mulut jaring akan mengejutkan udang yang terkena, lalu udang akan
meloncat dan masuk ke dalam jaring.
A.
PASCA PANEN
Pasca
panen merupakan persiapan yang dilakukan sebelum melakukan
panen. Beberapa hal
penting yang perlu diperhatika
n dalam penanganan pasca
panen:
1.
Alat-alat yang digunakan harus bersih.
2.
Penanganan harus cepat, cermat, dan hati-hati.
3.
Hindarkan terkena sinar matahari langsung.
4.
Cucilah udang dari kotoran dan lumpur dengan air bersih.
5.
Masukkan ke dalam keranjang, ember, atau tong, dan siram dengan air
bersih.
6.
Selalu menggunakan es batu untuk mendinginkan dan mengawetkan udang.
7.
Selain didinginkan, dapat juga direndam dalam larutan NaCl 100 ppm untuk
mengawetkan udang pada temperatur kamar dan untuk membunuh bakteri
pembusuk (
Salmonella, Vibrio, Staphylococcus
).
8.
Kelompokan menurut jenis dan ukurannya.